Kado terindah untuk Zahra
Jam dinding menunjukkan pukul 05.30 dan aku, Violeta Zahra
masih duduk di atas tempat tidurku. Aku berjalan menuju kamar mandi. Saat menuju kamar mandi, aku melihat mama sedang duduk
sambil memandangi sesuatu, sepertinya sebuah foto. Saat aku menghampiri mama,
ia langsung menyembunyikan foto itu.
“Foto apakah itu Ma,”tanyaku dengan penasaran.
“Ah, tidak ada, hanya foto mama saat masih sekolah dulu,”ucap mama gugup.
Mungkin yang diucapkan mama benar. Lagi pula aku tidak ingin mencampuri urusannya.
”Ya sudah, aku mandi dulu Ma,” Aku pun meninggalkan mama dan menuju ke
kamar mandi.
Setelah selesai mandi, aku langsung berpakaian yang rapi dan bersiap-siap
pergi ke sekolah.
Setelah sarapan
dan berpamitan dengan mama, aku langsung menuju gerbang rumah untuk menunggu
bus kota yang akan lewat. Aku belum diizinkan oleh mama untuk membawa kendaraan
pribadi. Lagipula, aku juga tidak berminat untuk membawa kendaraan ke sekolah,
hanya akan menambah macet di jalan dan menambah polusi udara sehingga
meningkatkan efek pemanasan global. Tidak cukup 5 menit aku menunggu, bus yang
akan kutumpangi sudah datang. Aku menaiki bus itu. Tampak beberapa anak sekolah
dan pegawai kantor telah mengisi beberapa bangku yang ada di bus itu. Aku
mengambil tempat di dekat jendela,
dua bangku di
belakang pak supir. Udara pagi memang terasa segar. Sepuluh menit kemudian ,
bus yang kutumpangi telah sampai di gerbang sekolah. Setelah membayar ongkos ,
aku langsung keluar bus dan berjalan menuju kelas. Sekolah sudah tampak ramai.
Sebentar lagi bel akan berbunyi. Saat memasuki kelas, seperti biasa , selalu
ada keributan tentang gosip terbaru di sekolah .
“Eh, kamu tahu tidak ?. Kita
kedatangan guru fisika baru. Masih muda,”ujar Friska.
“Dapat info darimana
tu ? Kok aku tidak tau ya?” tanya Ratih.
“Kamu nya sih, gak mau ikut tadi ,”ujar Keyla.
Tiga cewek
ini adalah biangnya gossip di kalangan anak kelas 1. Friska sebagai pentolan
dari kelompok ini adalah anggota cheerleader
di sekolah. Selain itu, ia juga seorang model remaja yang sedang naik daun
sekarang. Berbeda dengan temannya, Keyla. Ia dijuluki “cewek berhati es”. Ia
memiliki paras yang cantik, namun perilakunya seperti anak lelaki. Ia tidak
suka dengan hal-hal yang berbau feminim. Ia lebih suka permainan laki-laki seperti panjat
tebing , arung jeram. Karena ia menganggap hal itu lebih menantang. Dan yang
terakhir adalah Ratih. Ia adalah anak yang cerewet, namun terkesan lemot. Karakter mereka berbeda sekali denganku. Sifatku lebih
pendiam, dan tidak akan berbicara jika kurasa itu tidak perlu.
Tiba-tiba, waktu
seakan berhenti. Seorang pemuda tampan masuk ke kelas seraya membawa buku.
Tampaknya gosip itu benar adanya. Lihatlah, di depan kelas telah berdiri
sesosok makhluk yang rupanya bagaikan artis di layar kaca , sambil tersenyum
kepada sekelompok individu yang masih dibuat takjub oleh kehadirannya. Aku
terkejut. Aku pandangi dia dari ujung kepala sampai kaki. Sepertinya aku pernah
melihatnya. ‘”Astaga, ia adalah pemuda yang ku tolong dua hari yang lalu, dan
dia sekarang berdiri di hadapan ku sebagai seorang guru.”
Malam itu....
Aku duduk di dekat jendela kamarku
sambil memandang keluar rumah. Hujan masih membasahi kaca jendela. Tapi, hujan
tak mampu menghilangkan rasa sakitku. Tahun lalu, saat aku check-up ke dokter, aku divonis terkena penyakit kanker otak stadium awal.
Saat pertama kali mengetahui hal ini aku tak sanggup menahan air mataku. Jika
aku pergi, mama akan tinggal sendiri. Sejak menghilangnya papa, sebenarnya
bukan menghilang, tapi aku tidak tahu dimana keberadaannya, kami hanya tinggal
berdua. Kami juga tidak memiliki sanak famili karena mama adalah anak tunggal dari kakek dan nenek. Dokter mengatakan,
penyakit ini masih bisa disembuhkan dengan terapi.
Sekarang, penyakitku sudah berangsur-angsur membaik. Aku masih melihat ke
arah jalan. Kendaraan masih lalu lalang di depan rumah. Maklum, rumahku berada
di dekat pusat keramaian. Orang-orang seakan tidak
peduli dengan cuaca yang semakin dingin.
Sebagian toko
telah tutup. Namun masih banyak juga toko-toko yang buka untuk memenuhi
kebutuhan pelanggannya.Mataku yang bening menyapu ke arah jalan. Tiba-tiba
mataku tertuju kepada seseorang. Dia sedang berdiri di dekat telepon umum,
tampaknya ia sedang berteduh. Seorang pria, mengenakan baju kemeja kotak-kotak
bewarna biru, dan celana panjang. Sepertinya ia seorang mahasiswa. Berarti
senior bagiku , karena aku masih kelas 1 SMA. Timbul rasa ibaku melihat
keadaannya. Bagaimana tidak ?. Sekujur
badannya basah kuyup dan menggigil. Aku mengambil baju
hangatku, lalu dua buah payung.
Aku membuka pintu rumahku. Seketika itu juga
hawa dingin membuat bulu romaku berdiri. Rasa sakit ini tampaknya juga tidak bersahabat
denganku. Namun, kumantapkan langkah berjalan keluar. Dari belakang terdengar
suara mama yang berteriak padaku. Tapi, aku tidak menghiraukannya.
Aku telah berada
di samping pria itu. Aku perhatikan , bibirnya membiru, wajahnya juga pucat. Aku beranikan diri untuk
berbicara kepadanya guna memberikan payung untuknya. “Ini kak, payung untuk
kakak. Tampaknya badan kakak sudah basah kuyup karena hujan,” kataku.
“Tttteeerrima kassssihhh dik,”jawabnya. Ia
mengambil payung dari tanganku. Tangan kami bersentuhan. Namun, bukannya dingin
yang aku rasakan , tapi malah kehangatan yang ada. Aku heran . badannya sudah
menggigil, tapi suhu tubuhnya panas.
Tiba-tiba……..
Pemuda yang aku
berikan payung tadi terjatuh tak sadarkan diri. Aku panik, karena aku samasekali tidak
mengenalnya. Aku berteriak sekeras mungkin, agar orang-orang di dekatku menolong
pemuda tadi. Seorang ibu tua menyarankan agar membawa
pemuda itu ke rumah penduduk setempat. Tanpa dikomandoi , aku langsung
menawarkan rumahku, karena hanya rumahku yang berada di sekitar sini,
selebihnya hanya toko-toko.
Kaum lelaki yang
ada di sekitar tempat itu, membopong tubuh pemuda yang telah membiru itu ke
rumahku. Setiba di rumah, mama tampak terkejut menyaksikan
warga beramai-ramai memenuhi rumahnya. Dengan tenang aku menjelaskan bahwa
pemuda itu pingsan , lalu warga
membawannya ke rumah ini karena inilah tempat yang paling dekat. Setelah warga
pergi, mama memanggil Mang Ujang, tukang kebun yang telah mengabdikan dirinya di rumah ini
selama hampir 17 tahun , sama dengan usiaku yang 3 bulan lagi akan genap 17 tahun
“Mang , ganti ya baju pemuda ini. Pakai saja baju Mang Ujang dulu,” kata mama.
“Baik Bu, sebentar saya ambilkan dulu,”jawab mang Ujang.
Mang Ujang pergi ke belakang,
dan tak lama kemudian lelaki paruh baya itu kembali dengan membawa baju dan
celana. “Ehm…Ibu dan Non Zahra bisa keluar sebentar ? Saya mau ganti baju Mas ini dulu,”tutur mang
Ujang dengan polosnya.
“Oh, iya saya hampir lupa.
Ayo Ra, kita
keluar dulu. Biar Mang Ujang mengganti pakaian pemuda ini,”mama merangkul ku keluar dengan
menahan malu.
Tampaknya aku terlalu lama melamun, dan tiba-tiba.......
“Violeta Zahra.......,”seseorang seperti memanggilku.
Aku tersadar dari lamunanku, dan mencari sumber suara itu. Beberapa temanku
tak sanggup menahan tawa melihat ekspresiku yang seperti orang kebingungan.
“Apa yang sedang kamu pikirkan , Violeta Zahra?,”tanya guru baru itu.
“Tidak ada Pak,”ucapku gugup.
“Baiklah, saya akan memperkenalkan diri. Nama saya Razah Putra. Bisa kalian
panggil pak Razah. Selama semester 2 ini saya akan menggantikan Pak Budi
mengajar fisika di kelas ini. Saya harap, kalian bisa belajar dengan
baik,”tuturnya dengan penuh wibawa.
Ooo …nama dia
Razah. Tapi tunggu dulu. Sepertinya namanya mirip dengan namaku. “Razah…Razah.,
jika di balik , namanya mirip dengan namaku , Zahra,” batinku. “Mungkin itu hanya
kebetulan saja,”tutur ku dalam hati.
Bapak itu mulai
menerangkan pelajaran. Sesekali, beberapa murid perempuan menggodanya. Tapi ia
hanya bersikap biasa saja. Saat ia menyuruh semua murid mencatat materi yang ia terangkan tadi , ia mengelilingi kelas, menghampiri murid dari satu meja ke meja
lainnya. Ketika tiba di mejaku, ia membungkuk seraya berbisik di dekat
telingaku,
“Terima kasih atas pertolonganmu kemarin
malam,”ucapnya lembut.
Mukaku menjadi
panas. Mungkin warnanya sudah merah seperti tomat. Beberapa temanku, menanyakan
perihal itu. Namun, dengan santai aku menjawab.
“ Tidak apa-apa, hanya tadi di telingaku ada
serangga,”ucapku polos. Apa yang dia lakukan ?. Hal itu bisa membuat aku salah
tingkah.
Semenjak kejadian
itu, sikap teman-teman mulai berangsur-angsur membaik. Mereka mulai akrab
denganku, dan aku juga tidak pendiam lagi. Tampaknya, kehadiran guru itu,
membawa berkah bagiku.
Tak terasa , sudah dua bulan pak Razah mengajar di kelas kami. Kami sangat
menikmati suasana saat belajar dengan beliau. Mungkin , karena perbedaan umur
yang tidak terlalu jauh, sehingga kami dapat memahami penjelasannya. Awalnya,
pelajaran fisika adalah pelajaran yang sangat tidak bersahabat dengan kelas
ini. Tapi, aku menganggap semua pelajaran sama dan tidak pernah memusuhi satu pun
pelajaran. Namun , akhir-akhir ini semua tampak senang belajar fisika. Berkat
pak Razah.
Suatu ketika, pah Razah memanggilku ke ruangannya.
Saat aku sampai di ruangan itu, beliau tengah duduk di depan mejanya, sambil
memandangi sebuah foto.
“ Silahkan duduk Zahra,”ucapnya.
“Baik Pak,”aku pun duduk di
hadapannya.
“Sebelumnya saya
ingin mengucapkan terima kasi karena kamu sudah menolong saya dulu. Jika tidak
ada kamu, mungkin saya sudah mati,”tuturnya dengan sungguh-sungguh.
“Tak perlu seperti
itu pak. Lagipula Bapak sudah 10 kali mengucapkan terima kasih kepada saya semenjak
kejadian itu. Saya menolong Bapak atas rasa kemanusiaan,”ucapku.
“Kamu memang anak
yang baik, dan bolehkah saya meminta sesuatu kepadamu?,”tanyanya. “Apa itu Pak,”tanyaku dengan
penasaran.
“Kalau kita hanya
berdua, kau tidak usah memanggil saya bapak. Panggil saja Kakak,”ucapnya sambil merapikan
buku-buku yang ada di atas mejanya.
“Baik Pak, ops…maksud saya , baik Kak,”ucapku polos. Dia
hanya tertawa melihat tingkahku.
“Oh iya , apakah kamu punya acara malam minggu
nanti ? Aku ingin mengajakmu pergi ke cafe yang berada di ujung jalan protokol. Cafe itu baru
dibuka kemarin,”tawarnya.
Aku berpikir
sejenak dan langsung mengangguk. Untuk pertama kalinya aku menerima ajakan kencan dari seorang
laki-laki,tapi ini tidak sepenuhnya
kencan , namun
sebagai ucapan terima kasih.
“Baiklah , aku akan menjemputmu,” ucapnya
dengan riang.
“Oke,”jawabku.
Setelah bel pulang
berbunyi, aku langsung bersiap untuk pulang. Tak sabar rasanya aku menceritakan
hal ini kepada mama. Senyuman yang selama ini jarang menghiasi wajahku,
sekarang malah tak mau hilang. Ini adalah pengalaman pertamaku , jadi aku harus
mempersiapkan diri sebaik mungkin.
Setiba di rumah
aku langsung memberitahukan hal ini kepada mama. Awalnya, wajah mama gembira
karena aku akan pergi dengan seorang lelaki. Namun, raut wajah itu berubah seketika
saat kusebutkan lelaki itu adalah Razah, orang yang pernah aku tolong dulu.
“Kamu boleh pergi dengan teman lelaki mu,
siapa saja. Tapi asalkan jangan dia,”. Itu adalah kalimat terakhir yang kudengar
dari mulut mama sebelum ia pergi meninggalkanku. Aku tidak habis pikir, mengapa
mama melarangku
untuk pergi dengan kak Razah. Ia adalah seorang lelaki yang baik , dan tampaknya
ia juga tidak memiliki niat jahat kepadaku. Lagipula ia guruku, aku sudah
menganggapnya sebagai kakak sendiri.
Aku merasa ada sesuatu
yang disembunyikan dariku. Apakah mama ada hubungannya dengan kak Razah ?.
Kalau memang ada yang mama sembunyikan dariku, mama benar-benar keterlaluan.
Aku tidak bisa tenang sekarang. Sikap mama seolah-olah selalu membayangiku. Apa
yang harus aku katakan kepada kak Razah?. Aku sudah terlanjur janji.
padanya. Aku tak
ingin membuat dia kecewa. Tapi bagaimana dengan mama?. “Tampaknya aku harus
bijak dalam hal ini,”gumamku seraya meninggalkan ruang tamu.
Hari yang dinanti
telah tiba. Ya, hari ini adalah hari Sabtu. Aku sudah memutuskan bahwa aku tidak akan
pergi dengan kak Razah karena lebih mementingkan perasaan mama. Aku tidak ingin
melukai perasaan mama. Siang ini aku akan menemui kak Razah untuk menjelaskan
keputusan ini.
Setibanya aku di
depan pintu ruang guru, ada sedikit perasaan ragu-ragu. Tampak dari kejauhan,
pak Razah sedang duduk bermenung
di depan mejanya. Aku tak enak hati untuk menggangunya. Sepertinya ia sedang
memikirkan sesuatu. Saat aku akan meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ada
seorang yag memanggilku.
“Zahra, mengapa
kau berdiri saja di depan pintu. Tampaknya ada hal yang ingin kau bicarakan
denganku.
Masuk saja,”ucapnya dan mempersilahkan aku untuk masuk.
“Maaf sebelumnyaPak, mengenai ajakan Bapak untuk pergi ,
sepertinya saya tidak bisa memenuhinya,”ujarku gugup.
“Mengapa demikian ? Apakah kamu tidak berkenan
dengan ajakan saya ? Atau ada seseorang yang marah jika kamu pergi dengan saya
?,”pertanyaan demi pertanyaan dilontarkannya kepadaku.Aku sangat gugup menghadapinya. Lebih gugup
daripada saat aku menghadapi Ujian Nasional ketika SMP. “Bukan begitu
Pak,”jawabku.
“Lantas apa yang membuatmu tidak bisa
memenuhi ajakanku?,”tanyanya dengan penasaran. “Mmmm,saya tidak bisa
mengatakannya,”aku tidak bisa lebih lama disini. Saat aku telah dekat dengan
pintu ruang guru, tiba-tiba.....
“Apakah ini menyangkut dengan orang tuamu?,’’pertanyaannya membuat kuberhenti
dan menoleh seketika. Bagaimana dia bisa tahu?. Padahal aku tidak menyinggung
masalah orang tua.
”Maksud bapak apa ?. Saya tidak mengerti,”ucapku setenang mungkin.
Tampaknya, ia telah mengetahui alasan ku membatalkan janjinya.
“Aku tahu, ini pasti berhubungan dengan orang tuamu. Aku bisa melihat
itu,’’ucapnya dengan percaya diri. Tampaknya aku tidak bisa menyembunyikannya
lagi. Akupun mengakui kebenaran hal itu. Kalau begitu ,
izinkan saya menemui beliau untuk memperbolehkan kamu pergi dengan saya. Ini
semua semata-mata saya lakukan untuk membalas kebaikanmu dulu”.
“Baiklah Pak, nanti sepulang
sekolah Bapak
ikut saja dengan saya”.
“Kita naik mobil
saya saja,”ucapnya.
“Terserah Bapak, kalau begitu saya permisi dulu Pak, sebentar lagi bel
akan berbunyi,”ujarku pamit.
Selama pelajaran
berlangsung , tak ada satu pun materi yang singgah di otakku. Perasaanku campur aduk. Antara cemas,
takut, bimbang, dan juga sedih.
Teeeeeeeeeeeeeettttttttttttttt
…
Bel telah
berbunyi. Semua siswa merapikan buku-buku yang ada di atas meja. Aku dengan
segera merapikan buku-bukuku yang sejak tadi terbuka di atas meja meskipun aku
tidak membacanya. Saat keluar dari kelas, tampak olehku pak Razah sudah menungguku di depan mobilnya. Aku
berjalan dengan perlahan ke arahnya. Waktu seakan berjalan sangat lambat.
Gerakanku seperti slow-motion saja.
Sekarang aku sudah berdiri di depan pak Razah, lalu pak Razah membukakan pintu untukku. Jika aku berada dalam
keadaan hati yang normal , mungkin aku akan sangat senang, namun sekarang bukan
waktu yang tepat untuk hal itu. Sepanjang jalan, kami hanya diam saja. Aku
sibuk memikirkan apa yang akan terjadi nanti jika mama bertemu dengan pak
Razah. Aku takut mama akan marah besar dan terjadi pertengkaran di rumah. Aku
paling benci dengan pertengkaran. Setiap pihak hanya mementingkan egonya
sendiri, tanpa berusaha untuk mengalah
dan mengakui kesalahan masing-masing. Aku telah sampai di depan rumah. Mama
yang aku lihat sedang membaca koran, langsung meletakkan korannya di ats meja.
Aku turun dari mobil dengan perasaan cemas. Pak Razah juga turun dari mobil dan
mengikuti langkahku. Ia tampaknya tenang-tenang saja. Sepertinya, ia sudah
menyiapkan sebuah teks dan menghapalnya agar tidak gugup menghadapi mama.
“Mau apa lagi kau datang kesini,”mama
membentak pak Razah yang berdiri di
depannya. “Selamat sore, Ibu Mery , saya ingin mengajak anak anda untuk menemani saya pergi makan
malam di cafe,”ucapnya
dengan tenang dengan percaya diri.tunggu dulu, tadi pak Razah menyebutkan nama mama. darimana ia tahu nama
mama ?. Padahal aku belum pernah memberitahunya.
“Tak kan pernah aku izinkan kau membawa
anakku,”tampaknya mama semakin marah. “Mengapa aku tidak boleh mengajaknya?.
Dia adikku. Adik kandungku,”ucapnya lantang. “Apa? Adik ? Aku tidak mengerti, ada
apa ini Ma ?
Tolong jelaskan padaku,” aku mulai bingung dengan situasi ini.
“Dia bukan adikmu, semenjak kau lebih memilih
laki-laki itu daripada aku.” Air mata mama mulai berlinang.
“Aku terpaksa mengikutinya, aku tak mau Mama dijadikan pelampiasan
amarah Papa,”nada
bicara pak Razah mulai lembut, dan ia
juga memanggil mamaku dengan sebutan “mama”. Ada apa ini sebenarnya?. Tadi mama
menyebutkan lelaki itu. Siapa dia ?. Apakah dia papaku ?. Kepala ku terasa
sakit sekali, pandanganku menjadi hitam, tubuhku terasa lemah dan kemudian aku
terjatuh.
Aku tidak tahu
berapa lama aku terbaring di rumah sakit ini. Tampaknya sudah dua minggu,
soalnya kalender di rumah sakit menunjukkan tanggal 13 maret. Itu berarti besok
adalah hari ulang tahunku. Mama masih tidur di sampingku. Aku mengingat-ingat
kejadian terakhir yang kualami. Aku tidak mengetahui kejadian yang terjadi setelah itu. Saat
aku berusaha duduk untuk mengambil minum, mama terbangun dan langsung
memelukku.
“Syukurlah Nak, kamu sadar. Sudah dua
minggu kamu tak sadarkan diri,”mama mulai meneteskan air mata.
“Jangan menangis Ma, aku tidak apa-apa.
Lihat kan. Aku sudah sadar. Tapi Ma, bisakah Mama ceritakan sejujurnya kepadaku tentang hubungan Mama dengan Pak Razah?,”ucapku
memohon.
“Baiklah, mama akan ceritakan
semuanya. Lagipula kamu memang pantas mengetahuinya. Razah adalah kakakmu. Dia tinggal
besama papamu. Kami berpisah saat kamu masih bayi. Papamu memiliki istri lagi.
Tapi belakangan ini terdengar kabar bahwa , istri dan anak mereka tewas dalam
sebuah kecelakaan. Mama sangat benci kepada papamu, karena ia lebih memilih
perempuan itu di banding mama. Kami juga memperebutkan Razah. Papamu hampir saja
menampar mama, namun Razah berhasil mencegahnya dan dia bersedia dibawa oleh papa. Itu
sebabnya mama melarang kamu dekat dengan Razah karena ia lebih memilih papamu.” Mama menghapus air
matanya. Tak terasa air mataku juga jatuh membasahi pipi. Ternyata, selama ini
mama menyembunyikan ini semua dariku. Namun, tak ada perasaan marah di dalam
hatiku. Aku merasa lebih tenang. Tiba-tiba, terdengar ketukan pintu, dan yang
datang adalah pah Razah, kakak kandungku. Mama tersenyum saat ia datang, hal
yang k temui ini sangat berbeda sekali saat mama bertemu dengannya saat
kejadian itu. Mama meninggalkan kami berdua.
“Bagaimana keadaanmu sekarang, adikku,”ucapnya
seraya tersenyum padaku. Aku memeluknya erat, air mataku mengalir deras.
Impianku untuk mempunyai keluarga utuh sedikit demi sedikit sudah mulai
tercapai.
“Hei, mengapa kamu
menangis ?. Apakah kamu tidak menyukai aku datang kesini,”ucapnya sambil
menghapus air mataku.
“Tidak, sama
sekali tidak. Aku bahagia, sangat bahagia,”ucapku penuh rasa haru. Setelah itu,
kami saling bercerita. Aku menceritakan tentang mama, dan ia menceritakan
tentang papa.”Kak, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?,”tanyaku.
“Boleh, apakah itu?,”jawabnya.
“Besok adalah hari ulang tahunku, bisakah Kakak mengajak papa ke
sini?. Aku ingin Papa hadir disaat terindahku ini,”ujarku.
“Baiklah, akan aku
usahakan,”ucapnya sungguh-sungguh. Setelah ia meninggalkan ruanganku, aku pun
tidur kembali.
Keesokan paginya,
14 maret 2011 mama telah berdiri di samping ranjangku dengan membawa sebuah kue
dengan lilin angka 17 di atasnya. “Selamat ulang tahun sayang, semoga panjang
umur dan sehat selalu, do’a mama menyertaimu selalu Nak,”ucap mama sambil
mencium pipiku.
“Terima kasih ma,”aku memeluk mama erat. “Ada
satu lagi kejutan untukmu,”mama melihat ke arah pintu. Tak lama kemudian
pintu terbuka. Tampak kak Razah, dengan seorang pria paruh baya. Apakah ia papaku ?.
“Ia papamu nak,”tutur mama. Aku menangis.
Menangis bahagia, karena di ulang tahunku yang ke-17 aku mendapatkan kado
terindah, yaitu keluarga. Papa mulai mendekat ke ranjang ku. Aku langsung
memeluknya erat.
“Papa…jangan
tinggalkan aku lagi, aku mohon,”ucapku.
“Tidak sayang, papa tidak akan meninggalkanmu
lagi,”papa meyakinkanku dengan perkataannya. Kepalaku mulai terasa sakit, aku
langsung berbaring. Tapi , aku sembunyikan rasa sakitku. Tampaknya waktuku
telah tiba. Aku tidak ingin merusak peristiwa penting ini. Aku mengambil tangan mama, papa,
kak Razah , dan menyatukannya di atas tanganku.
“Berjanjilah padaku, kita akan terus bersama, sebagai keluarga,”ucapku
perlahan.
“Iya sayang,”mama, papa dan kak Razah menjawab bersamaan.
Mataku perlahan tertutup, dan nafas tadi adalah nafas terakhirku.
“Zahra, kamu masih mengantuk ya?. Padahal ini kan hari ulang tahunmu,”ujar
mama. Mama berusaha untuk membangunkanku, tapi tetap saja tubuhku tidak
bergeming sedikit pun. Mama mulai cemas dengan keadaanku. Mama memanggil
dokter, dan setelah memeriksa denyut nadiku dokter berkata,”Innalillahi wa
innailaihi raji’un, kami harap Ibu dan Bapak bisa tabah menghadapi ujian
ini,”tutur dokter. Suasana yang tadinya bahagia berubah menjadi suasana yang penuh
tangis.
“Zahra….zahraaaa...Jangan
tinggalkan mama, Nak,”mama menangis histeris. Papa dan kak Razah berusaha menenangkan mama walaupun hati mereka juga
sakit, tak kalah sakitnya dengan apa yang dirasakan mama.
Gundukan tanah itu
masih basah. Pohon kamboja di dekat
kuburan itu menggugurkan bunganya, seakan turut berduka. Di dalamnya terbaring gadis cantik bernama Violeta Zahra. Ya, Zahra
telah pergi meninggalkan dunia ini. Ia pergi di saat tepat usianya 17 tahun.
Tuhan menyayanginya. Tuhan tidak mau Zahra menderita karena kanker otak yang di
deritanya. Setidaknya ia telah mendapatkan kado terindah di hidupnya. Kado yang
tak akan pernah tergantikan dengan apapun, yaitu keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar