Kamis, 09 Agustus 2012

Kado terindah untuk zahra


Kado terindah untuk Zahra

 Jam dinding  menunjukkan pukul 05.30 dan aku, Violeta Zahra masih duduk di atas tempat tidurku. Aku berjalan menuju kamar mandi. Saat  menuju kamar mandi, aku melihat mama sedang duduk sambil memandangi sesuatu, sepertinya sebuah foto. Saat aku menghampiri mama, ia langsung menyembunyikan foto itu.
“Foto apakah itu Ma,”tanyaku dengan penasaran.
“Ah, tidak ada, hanya foto mama saat masih sekolah dulu,”ucap mama gugup. Mungkin yang diucapkan mama benar. Lagi pula  aku tidak ingin mencampuri urusannya.
”Ya sudah, aku mandi dulu Ma,” Aku pun meninggalkan mama dan menuju ke kamar mandi.
Setelah selesai mandi, aku langsung berpakaian yang rapi dan bersiap-siap pergi ke sekolah.
Setelah sarapan dan berpamitan dengan mama, aku langsung menuju gerbang rumah untuk menunggu bus kota yang akan lewat. Aku belum diizinkan oleh mama untuk membawa kendaraan pribadi. Lagipula, aku juga tidak berminat untuk membawa kendaraan ke sekolah, hanya akan menambah macet di jalan dan menambah polusi udara sehingga meningkatkan efek pemanasan global. Tidak cukup 5 menit aku menunggu, bus yang akan kutumpangi sudah datang. Aku menaiki bus itu. Tampak beberapa anak sekolah dan pegawai kantor telah mengisi beberapa bangku yang ada di bus itu. Aku mengambil tempat di dekat jendela, dua bangku di belakang pak supir. Udara pagi memang terasa segar. Sepuluh menit kemudian , bus yang kutumpangi telah sampai di gerbang sekolah. Setelah membayar ongkos , aku langsung keluar bus dan berjalan menuju kelas. Sekolah sudah tampak ramai. Sebentar lagi bel akan berbunyi. Saat memasuki kelas, seperti biasa , selalu ada keributan tentang gosip terbaru di sekolah .
“Eh, kamu tahu tidak ?. Kita kedatangan guru fisika baru. Masih muda,”ujar Friska.
“Dapat info darimana tu ? Kok aku tidak tau ya?” tanya Ratih.
 “Kamu nya sih, gak mau ikut tadi ,”ujar Keyla. Tiga cewek ini adalah biangnya gossip di kalangan anak kelas 1. Friska sebagai pentolan dari kelompok ini adalah anggota cheerleader di sekolah. Selain itu, ia juga seorang model remaja yang sedang naik daun sekarang. Berbeda dengan temannya, Keyla. Ia dijuluki “cewek berhati es”. Ia memiliki paras yang cantik, namun perilakunya seperti anak lelaki. Ia tidak suka dengan hal-hal yang berbau feminim. Ia lebih suka permainan laki-laki seperti panjat tebing , arung jeram. Karena ia menganggap hal itu lebih menantang. Dan yang terakhir adalah Ratih. Ia adalah anak yang cerewet,  namun terkesan lemot. Karakter mereka berbeda sekali denganku. Sifatku lebih pendiam, dan tidak akan berbicara jika kurasa itu tidak perlu.
Tiba-tiba, waktu seakan berhenti. Seorang pemuda tampan masuk ke kelas seraya membawa buku. Tampaknya gosip itu benar adanya. Lihatlah, di depan kelas telah berdiri sesosok makhluk yang rupanya bagaikan artis di layar kaca , sambil tersenyum kepada sekelompok individu yang masih dibuat takjub oleh kehadirannya. Aku terkejut. Aku pandangi dia dari ujung kepala sampai kaki. Sepertinya aku pernah melihatnya. ‘”Astaga, ia adalah pemuda yang ku tolong dua hari yang lalu, dan dia sekarang berdiri di hadapan ku sebagai seorang guru.
Malam itu....
Aku  duduk di dekat jendela kamarku sambil memandang keluar rumah. Hujan masih membasahi kaca jendela. Tapi, hujan tak mampu menghilangkan rasa sakitku. Tahun lalu, saat aku check-up ke dokter, aku divonis  terkena penyakit kanker otak stadium awal. Saat pertama kali mengetahui hal ini aku tak sanggup menahan air mataku. Jika aku pergi, mama akan tinggal sendiri. Sejak menghilangnya papa, sebenarnya bukan menghilang, tapi aku tidak tahu dimana keberadaannya, kami hanya tinggal berdua. Kami juga tidak memiliki sanak famili  karena mama adalah anak tunggal  dari kakek dan nenek. Dokter mengatakan, penyakit ini masih bisa disembuhkan dengan terapi.
Sekarang, penyakitku sudah berangsur-angsur membaik. Aku masih melihat ke arah jalan. Kendaraan masih lalu lalang di depan rumah. Maklum, rumahku berada di dekat pusat keramaian. Orang-orang seakan tidak peduli dengan cuaca yang semakin dingin.
Sebagian toko telah tutup. Namun masih banyak juga toko-toko yang buka untuk memenuhi kebutuhan pelanggannya.Mataku yang bening menyapu ke arah jalan. Tiba-tiba mataku tertuju kepada seseorang. Dia sedang berdiri di dekat telepon umum, tampaknya ia sedang berteduh. Seorang pria, mengenakan baju kemeja kotak-kotak bewarna biru, dan celana panjang. Sepertinya ia seorang mahasiswa. Berarti senior bagiku , karena aku masih kelas 1 SMA. Timbul rasa ibaku melihat keadaannya. Bagaimana tidak ?. Sekujur badannya basah kuyup dan menggigil. Aku mengambil baju hangatku, lalu dua buah payung.
 Aku membuka pintu rumahku. Seketika itu juga hawa dingin membuat bulu romaku berdiri. Rasa sakit ini tampaknya juga tidak bersahabat denganku. Namun, kumantapkan langkah berjalan keluar. Dari belakang terdengar suara mama yang berteriak padaku. Tapi, aku tidak menghiraukannya.
Aku telah berada di samping pria itu. Aku perhatikan , bibirnya  membiru, wajahnya juga pucat. Aku beranikan diri untuk berbicara kepadanya guna memberikan payung untuknya. “Ini kak, payung untuk kakak. Tampaknya badan kakak sudah basah kuyup karena hujan,” kataku.
 “Tttteeerrima kassssihhh dik,”jawabnya. Ia mengambil payung dari tanganku. Tangan kami bersentuhan. Namun, bukannya dingin yang aku rasakan , tapi malah kehangatan yang ada. Aku heran . badannya sudah menggigil, tapi suhu tubuhnya panas.
Tiba-tiba……..
Pemuda yang aku berikan payung tadi terjatuh tak sadarkan diri. Aku panik, karena aku samasekali tidak mengenalnya. Aku berteriak sekeras mungkin, agar orang-orang di dekatku menolong pemuda tadi. Seorang ibu tua  menyarankan agar membawa pemuda itu ke rumah penduduk setempat. Tanpa dikomandoi , aku langsung menawarkan rumahku, karena hanya rumahku yang berada di sekitar sini, selebihnya hanya toko-toko.
Kaum lelaki yang ada di sekitar tempat itu, membopong tubuh pemuda yang telah membiru itu ke rumahku. Setiba di rumah, mama tampak terkejut  menyaksikan warga beramai-ramai memenuhi rumahnya. Dengan tenang aku menjelaskan bahwa pemuda itu  pingsan , lalu warga membawannya ke rumah ini karena inilah tempat yang paling dekat. Setelah warga pergi, mama memanggil Mang Ujang, tukang kebun yang telah mengabdikan dirinya di rumah ini selama hampir 17 tahun , sama dengan usiaku yang 3 bulan lagi akan genap 17 tahun
“Mang ,  ganti ya baju pemuda ini. Pakai saja baju Mang Ujang dulu,” kata mama.
“Baik Bu, sebentar saya ambilkan dulu,”jawab mang Ujang.
Mang Ujang pergi ke belakang, dan tak lama kemudian lelaki paruh baya itu kembali dengan membawa baju dan celana. “Ehm…Ibu dan Non Zahra bisa keluar sebentar ? Saya mau ganti baju Mas ini dulu,”tutur mang Ujang dengan polosnya.
 “Oh, iya saya hampir lupa. Ayo Ra, kita keluar dulu. Biar Mang Ujang mengganti pakaian pemuda ini,”mama merangkul ku keluar dengan menahan malu.
Tampaknya aku terlalu lama melamun, dan tiba-tiba.......
“Violeta Zahra.......,”seseorang seperti memanggilku.
Aku tersadar dari lamunanku, dan mencari sumber suara itu. Beberapa temanku tak sanggup menahan tawa melihat ekspresiku yang seperti orang kebingungan.
“Apa yang sedang kamu pikirkan , Violeta Zahra?,”tanya guru baru itu. “Tidak ada Pak,”ucapku gugup.
“Baiklah, saya akan memperkenalkan diri. Nama saya Razah Putra. Bisa kalian panggil pak Razah. Selama semester 2 ini saya akan menggantikan Pak Budi mengajar fisika di kelas ini. Saya harap, kalian bisa belajar dengan baik,”tuturnya dengan penuh wibawa.
Ooo …nama dia Razah. Tapi tunggu dulu. Sepertinya namanya mirip dengan namaku. “Razah…Razah., jika di balik , namanya mirip dengan namaku , Zahra,” batinku. “Mungkin itu hanya kebetulan saja,”tutur ku dalam hati.
Bapak itu mulai menerangkan pelajaran. Sesekali, beberapa murid perempuan menggodanya. Tapi ia hanya bersikap biasa saja. Saat ia menyuruh semua murid mencatat materi yang ia terangkan tadi , ia mengelilingi kelas, menghampiri murid dari satu meja ke meja lainnya. Ketika tiba di mejaku, ia membungkuk seraya berbisik di dekat telingaku,
 “Terima kasih atas pertolonganmu kemarin malam,”ucapnya lembut.
Mukaku menjadi panas. Mungkin warnanya sudah merah seperti tomat. Beberapa temanku, menanyakan perihal itu. Namun, dengan santai aku menjawab.
 “ Tidak apa-apa, hanya tadi di telingaku ada serangga,”ucapku polos. Apa yang dia lakukan ?. Hal itu bisa membuat aku salah tingkah.
Semenjak kejadian itu, sikap teman-teman mulai berangsur-angsur membaik. Mereka mulai akrab denganku, dan aku juga tidak pendiam lagi. Tampaknya, kehadiran guru itu, membawa berkah bagiku.
Tak terasa , sudah dua bulan pak Razah mengajar di kelas kami. Kami sangat menikmati suasana saat belajar dengan beliau. Mungkin , karena perbedaan umur yang tidak terlalu jauh, sehingga kami dapat memahami penjelasannya. Awalnya, pelajaran fisika adalah pelajaran yang sangat tidak bersahabat dengan kelas ini. Tapi, aku menganggap semua pelajaran sama dan tidak pernah memusuhi satu pun pelajaran. Namun , akhir-akhir ini semua tampak senang belajar fisika. Berkat pak Razah.
 Suatu ketika, pah Razah memanggilku ke ruangannya. Saat aku sampai di ruangan itu, beliau tengah duduk di depan mejanya, sambil memandangi sebuah foto.
 “ Silahkan duduk Zahra,”ucapnya.
“Baik Pak,”aku pun duduk di hadapannya.
“Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasi karena kamu sudah menolong saya dulu. Jika tidak ada kamu, mungkin saya sudah mati,”tuturnya dengan sungguh-sungguh.
“Tak perlu seperti itu pak. Lagipula Bapak sudah 10 kali mengucapkan terima kasih kepada saya semenjak kejadian itu. Saya menolong Bapak atas rasa kemanusiaan,”ucapku.
“Kamu memang anak yang baik, dan bolehkah saya meminta sesuatu kepadamu?,”tanyanya. “Apa itu Pak,”tanyaku dengan penasaran.
“Kalau kita hanya berdua, kau tidak usah memanggil saya bapak. Panggil saja Kakak,ucapnya sambil merapikan buku-buku yang ada di atas mejanya.
 “Baik Pak, ops…maksud saya , baik Kak,”ucapku polos. Dia hanya tertawa melihat tingkahku.
 “Oh iya , apakah kamu punya acara malam minggu nanti ? Aku ingin mengajakmu pergi ke cafe yang berada di ujung jalan protokol. Cafe itu baru dibuka kemarin,”tawarnya.
Aku berpikir sejenak dan langsung mengangguk. Untuk pertama kalinya aku menerima ajakan kencan dari seorang laki-laki,tapi ini tidak sepenuhnya kencan , namun
sebagai ucapan terima kasih.
 “Baiklah , aku akan menjemputmu,” ucapnya dengan riang.
 “Oke,”jawabku.
Setelah bel pulang berbunyi, aku langsung bersiap untuk pulang. Tak sabar rasanya aku menceritakan hal ini kepada mama. Senyuman yang selama ini jarang menghiasi wajahku, sekarang malah tak mau hilang. Ini adalah pengalaman pertamaku , jadi aku harus mempersiapkan diri sebaik mungkin.
Setiba di rumah aku langsung memberitahukan hal ini kepada mama. Awalnya, wajah mama gembira karena aku akan pergi dengan seorang lelaki. Namun, raut wajah itu berubah seketika saat kusebutkan lelaki itu adalah Razah, orang yang pernah aku tolong dulu.
 “Kamu boleh pergi dengan teman lelaki mu, siapa saja. Tapi asalkan jangan dia,”. Itu adalah kalimat terakhir yang kudengar dari mulut mama sebelum ia pergi meninggalkanku. Aku tidak habis pikir, mengapa mama melarangku untuk pergi dengan kak Razah. Ia adalah seorang lelaki yang baik , dan tampaknya ia juga tidak memiliki niat jahat kepadaku. Lagipula ia guruku, aku sudah menganggapnya sebagai kakak sendiri.
Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan dariku. Apakah mama ada hubungannya dengan kak Razah ?. Kalau memang ada yang mama sembunyikan dariku, mama benar-benar keterlaluan. Aku tidak bisa tenang sekarang. Sikap mama seolah-olah selalu membayangiku. Apa yang harus aku katakan kepada kak Razah?. Aku sudah terlanjur janji.
padanya. Aku tak ingin membuat dia kecewa. Tapi bagaimana dengan mama?. “Tampaknya aku harus bijak dalam hal ini,”gumamku seraya meninggalkan ruang tamu.
Hari yang dinanti telah tiba. Ya, hari ini adalah hari Sabtu. Aku sudah memutuskan bahwa aku tidak akan pergi dengan kak Razah karena lebih mementingkan perasaan mama. Aku tidak ingin melukai perasaan mama. Siang ini aku akan menemui kak Razah untuk menjelaskan keputusan ini.
Setibanya aku di depan pintu ruang guru, ada sedikit perasaan ragu-ragu. Tampak dari kejauhan, pak Razah sedang duduk bermenung di depan mejanya. Aku tak enak hati untuk menggangunya. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu. Saat aku akan meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ada seorang yag memanggilku.
“Zahra, mengapa kau berdiri saja di depan pintu. Tampaknya ada hal yang ingin kau bicarakan denganku. Masuk saja,”ucapnya dan mempersilahkan aku untuk masuk.
“Maaf sebelumnyaPak, mengenai ajakan Bapak untuk pergi , sepertinya saya tidak bisa memenuhinya,”ujarku gugup.
 “Mengapa demikian ? Apakah kamu tidak berkenan dengan ajakan saya ? Atau ada seseorang yang marah jika kamu pergi dengan saya ?,”pertanyaan demi pertanyaan dilontarkannya kepadaku.Aku sangat gugup menghadapinya. Lebih gugup daripada saat aku menghadapi Ujian Nasional ketika SMP. “Bukan begitu Pak,”jawabku.
 “Lantas apa yang membuatmu tidak bisa memenuhi ajakanku?,”tanyanya dengan penasaran. “Mmmm,saya tidak bisa mengatakannya,”aku tidak bisa lebih lama disini. Saat aku telah dekat dengan pintu ruang guru, tiba-tiba.....
“Apakah ini menyangkut dengan orang tuamu?,’’pertanyaannya membuat kuberhenti dan menoleh seketika. Bagaimana dia bisa tahu?. Padahal aku tidak menyinggung masalah orang tua.
”Maksud bapak apa ?. Saya tidak mengerti,”ucapku setenang mungkin. Tampaknya, ia telah mengetahui alasan ku membatalkan janjinya.
“Aku tahu, ini pasti berhubungan dengan orang tuamu. Aku bisa melihat itu,’’ucapnya dengan percaya diri. Tampaknya aku tidak bisa menyembunyikannya lagi. Akupun mengakui kebenaran hal itu. Kalau begitu , izinkan saya menemui beliau untuk memperbolehkan kamu pergi dengan saya. Ini semua semata-mata saya lakukan untuk membalas kebaikanmu dulu”.
“Baiklah Pak, nanti sepulang sekolah Bapak ikut saja dengan saya”.
“Kita naik mobil saya saja,ucapnya.
 “Terserah Bapak, kalau begitu saya permisi dulu Pak, sebentar lagi bel akan berbunyi,”ujarku pamit.
Selama pelajaran berlangsung , tak ada satu pun materi yang singgah di otakku. Perasaanku campur aduk. Antara cemas, takut, bimbang, dan juga sedih.
Teeeeeeeeeeeeeettttttttttttttt …
Bel telah berbunyi. Semua siswa merapikan buku-buku yang ada di atas meja. Aku dengan segera merapikan buku-bukuku yang sejak tadi terbuka di atas meja meskipun aku tidak membacanya. Saat keluar dari kelas, tampak olehku pak Razah  sudah menungguku di depan mobilnya. Aku berjalan dengan perlahan ke arahnya. Waktu seakan berjalan sangat lambat. Gerakanku seperti slow-motion saja. Sekarang aku sudah berdiri di depan pak Razah, lalu pak Razah membukakan pintu untukku. Jika aku berada dalam keadaan hati yang normal , mungkin aku akan sangat senang, namun sekarang bukan waktu yang tepat untuk hal itu. Sepanjang jalan, kami hanya diam saja. Aku sibuk memikirkan apa yang akan terjadi nanti jika mama bertemu dengan pak Razah. Aku takut mama akan marah besar dan terjadi pertengkaran di rumah. Aku paling benci dengan pertengkaran. Setiap pihak hanya mementingkan egonya sendiri,  tanpa berusaha untuk mengalah dan mengakui kesalahan masing-masing. Aku telah sampai di depan rumah. Mama yang aku lihat sedang membaca koran, langsung meletakkan korannya di ats meja. Aku turun dari mobil dengan perasaan cemas. Pak Razah juga turun dari mobil dan mengikuti langkahku. Ia tampaknya tenang-tenang saja. Sepertinya, ia sudah menyiapkan sebuah teks dan menghapalnya agar tidak gugup menghadapi mama.
 “Mau apa lagi kau datang kesini,”mama membentak pak Razah  yang berdiri di depannya. “Selamat sore, Ibu Mery , saya ingin mengajak anak anda untuk menemani saya pergi makan malam di cafe,”ucapnya dengan tenang dengan percaya diri.tunggu dulu, tadi pak Razah  menyebutkan nama mama. darimana ia tahu nama mama ?. Padahal aku belum pernah memberitahunya.
 “Tak kan pernah aku izinkan kau membawa anakku,”tampaknya mama semakin marah. “Mengapa aku tidak boleh mengajaknya?. Dia adikku. Adik kandungku,”ucapnya lantang. “Apa? Adik ? Aku tidak mengerti, ada apa ini Ma ? Tolong jelaskan padaku,” aku mulai bingung dengan situasi ini.
 “Dia bukan adikmu, semenjak kau lebih memilih laki-laki itu daripada aku. Air mata mama mulai berlinang.
 “Aku terpaksa mengikutinya, aku tak mau Mama dijadikan pelampiasan amarah Papa,”nada bicara pak Razah  mulai lembut, dan ia juga memanggil mamaku dengan sebutan “mama”. Ada apa ini sebenarnya?. Tadi mama menyebutkan lelaki itu. Siapa dia ?. Apakah dia papaku ?. Kepala ku terasa sakit sekali, pandanganku menjadi hitam, tubuhku terasa lemah dan kemudian aku terjatuh.
Aku tidak tahu berapa lama aku terbaring di rumah sakit ini. Tampaknya sudah dua minggu, soalnya kalender di rumah sakit menunjukkan tanggal 13 maret. Itu berarti besok adalah hari ulang tahunku. Mama masih tidur di sampingku. Aku mengingat-ingat kejadian terakhir yang kualami. Aku tidak mengetahui kejadian yang terjadi setelah itu. Saat aku berusaha duduk untuk mengambil minum, mama terbangun dan langsung memelukku.
“Syukurlah Nak, kamu sadar. Sudah dua minggu kamu tak sadarkan diri,”mama mulai meneteskan air mata.
 “Jangan menangis Ma, aku tidak apa-apa. Lihat kan. Aku sudah sadar. Tapi Ma, bisakah Mama ceritakan sejujurnya kepadaku tentang hubungan Mama dengan Pak Razah?,”ucapku memohon.
Baiklah, mama akan ceritakan semuanya. Lagipula kamu memang pantas mengetahuinya. Razah adalah kakakmu. Dia tinggal besama papamu. Kami berpisah saat kamu masih bayi. Papamu memiliki istri lagi. Tapi belakangan ini terdengar kabar bahwa , istri dan anak mereka tewas dalam sebuah kecelakaan. Mama sangat benci kepada papamu, karena ia lebih memilih perempuan itu di banding mama. Kami juga memperebutkan Razah. Papamu hampir saja menampar mama, namun Razah berhasil mencegahnya dan dia bersedia dibawa oleh papa. Itu sebabnya mama melarang kamu dekat dengan Razah karena ia lebih memilih papamu. Mama menghapus air matanya. Tak terasa air mataku juga jatuh membasahi pipi. Ternyata, selama ini mama menyembunyikan ini semua dariku. Namun, tak ada perasaan marah di dalam hatiku. Aku merasa lebih tenang. Tiba-tiba, terdengar ketukan pintu, dan yang datang adalah pah Razah, kakak kandungku. Mama tersenyum saat ia datang, hal yang k temui ini sangat berbeda sekali saat mama bertemu dengannya saat kejadian itu. Mama meninggalkan kami berdua.
 “Bagaimana keadaanmu sekarang, adikku,”ucapnya seraya tersenyum padaku. Aku memeluknya erat, air mataku mengalir deras. Impianku untuk mempunyai keluarga utuh sedikit demi sedikit sudah mulai tercapai.
“Hei, mengapa kamu menangis ?. Apakah kamu tidak menyukai aku datang kesini,”ucapnya sambil menghapus air mataku.
“Tidak, sama sekali tidak. Aku bahagia, sangat bahagia,”ucapku penuh rasa haru. Setelah itu, kami saling bercerita. Aku menceritakan tentang mama, dan ia menceritakan tentang papa.”Kak, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?,”tanyaku.
 “Boleh, apakah itu?,”jawabnya.
 “Besok adalah hari ulang tahunku, bisakah Kakak mengajak papa ke sini?. Aku ingin Papa hadir disaat terindahku ini,”ujarku.
“Baiklah, akan aku usahakan,”ucapnya sungguh-sungguh. Setelah ia meninggalkan ruanganku, aku pun tidur kembali.
Keesokan paginya, 14 maret 2011 mama telah berdiri di samping ranjangku dengan membawa sebuah kue dengan lilin angka 17 di atasnya. “Selamat ulang tahun sayang, semoga panjang umur dan sehat selalu, do’a mama menyertaimu selalu Nak,”ucap mama sambil mencium pipiku.
 “Terima kasih ma,”aku memeluk mama erat. “Ada satu lagi kejutan untukmu,”mama melihat ke arah pintu. Tak lama kemudian pintu terbuka. Tampak kak Razah, dengan seorang pria paruh baya. Apakah ia papaku ?.
 “Ia papamu nak,”tutur mama. Aku menangis. Menangis bahagia, karena di ulang tahunku yang ke-17 aku mendapatkan kado terindah, yaitu keluarga. Papa mulai mendekat ke ranjang ku. Aku langsung memeluknya erat.
“Papa…jangan tinggalkan aku lagi, aku mohon,”ucapku.
 “Tidak sayang, papa tidak akan meninggalkanmu lagi,”papa meyakinkanku dengan perkataannya. Kepalaku mulai terasa sakit, aku langsung berbaring. Tapi , aku sembunyikan rasa sakitku. Tampaknya waktuku telah tiba. Aku tidak ingin merusak peristiwa penting ini. Aku mengambil tangan mama, papa, kak Razah , dan menyatukannya di atas tanganku. “Berjanjilah padaku, kita akan terus bersama, sebagai keluarga,”ucapku perlahan.
 “Iya sayang,”mama, papa dan kak Razah menjawab bersamaan. Mataku perlahan tertutup, dan nafas tadi adalah nafas terakhirku.
“Zahra, kamu masih mengantuk ya?. Padahal ini kan hari ulang tahunmu,”ujar mama. Mama berusaha untuk membangunkanku, tapi tetap saja tubuhku tidak bergeming sedikit pun. Mama mulai cemas dengan keadaanku. Mama memanggil dokter, dan setelah memeriksa denyut nadiku dokter berkata,”Innalillahi wa innailaihi raji’un, kami harap Ibu dan Bapak bisa tabah menghadapi ujian ini,”tutur dokter. Suasana yang tadinya bahagia berubah menjadi suasana yang penuh tangis.
“Zahra….zahraaaa...Jangan tinggalkan mama, Nak,”mama menangis histeris. Papa dan kak Razah berusaha menenangkan mama walaupun hati mereka juga sakit, tak kalah sakitnya dengan apa yang dirasakan mama.
Gundukan tanah itu masih basah. Pohon kamboja di dekat kuburan itu menggugurkan bunganya, seakan turut berduka. Di dalamnya terbaring gadis cantik bernama Violeta Zahra. Ya, Zahra telah pergi meninggalkan dunia ini. Ia pergi di saat tepat usianya 17 tahun. Tuhan menyayanginya. Tuhan tidak mau Zahra menderita karena kanker otak yang di deritanya. Setidaknya ia telah mendapatkan kado terindah di hidupnya. Kado yang tak akan pernah tergantikan dengan apapun, yaitu keluarga.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar